Rabu, 25 Januari 2017

Materi Diskusi Bulan Januari 2017



Menangkal Radikalisme “SARA” dengan Islam Nusantara
Oleh : M. Yusuf Anshori

Sentimen Etnis Berujung Penjarahan
Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan.
Krisis moneter berkepanjangan di tahun 1998 berujung pada aksi kerusuhan hebat pada penghujung rezim Orde Baru pimpinan almarhum Soeharto. Saat itu, Indonesia dilanda krisisi ekonomi parah sehingga melumpuhkan seluruh persendian ekonomi dalam negeri.
Kerusuhan yang terjadi malah menular pada konflik antar etnis pribumi dan etnis Tionghoa. Saat itu, banyak aset milik etnis Tionghoa dijarah dan juga dibakar oleh massa yang kalap.
Massa pribumi juga melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para wanita dari etnis Tionghoa kala itu. Konflik antar etnis itu menjadi catatan kelam di penghujung pemerintahan rezim Soeharto.

Konflik Agama di Ambon

Konflik berbau agama paling tragis meletup pada tahun 1999 silam. Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999, telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Konflik tersebut kemudian meluas dan menjadi kerusuhan hebat antara umat Islam dan Kristen yang berujung pada banyaknya orang meregang nyawa. Kedua kubu berbeda agama ini saling serang dan bakar membakar bangunan serta sarana ibadah.
Saat itu, ABRI dianggap gagal menangani konflik dan merebak isu bahwa situasi itu sengaja dibiarkan berlanjut untuk mengalihkan isu-isu besar lainnya. Kerusuhan yang merusak tatanan kerukunan antar umat beragama di Ambon itu berlangsung cukup lama sehingga menjadi isu sensitif hingga saat ini.

Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura

Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan bikin geger bangsa Indonesia pada tahun 2001 silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang Dayak yang didiuga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak.
Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku Dayak yang kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku Dayak demi memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura.
[Baca: Konflik Sara Paling Mengerikan di Indonesia]

Menjelang pilgup DKI 2017

Munculnya isu SARA yang gaduh sekarang ini awalnya terkait ucapan Ahok ketika dengan pakaian dinas Pemda DKI menemui warga Kepulauan Seribu lalu Ahok menyatakan “... dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51 yakni, “Ayat tersebut melarang orang-orang beriman mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka. 

Dengan mengamati isu sara yang mencul di atas permukaan ini membuktikan, bahwa isu yang berbau suku, agama, ras, dan antar golongan masih saja mudah meledak (eksplosif). Karena itu menjadi bijak jika para politisi, fungsionaris partai, elite politik, pejabat serta serta pemimpin formal dan informal untuk mencegah dan menghindari isu SARA di bawah ke ranah politik. Keempat aspek SARA ini adalah persoalan primordial dan masalah itu bisa langgeng dalam hidup pribadi atau kelompok masyarakat, hingga munculnya isu SARA dalam politik yang sulit dihindari. Meski hal seperti ini juga muncul di negara negara lain, bahkan sekaliber negara2 demokrasi seperti Amerika, Inggris, Perancis, dan sebagainya.

WAWANCARA – Gus Mus: Fatwa Kok Dikawal, Dasarnya dari Kitab Apa?

Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri ibarat oasis di tengah panasnya intoleransi beragama di negeri ini. Wejangan tentang wajah Islam yang moderat sekaligus bersahabat mengisi ruang yang ditinggalkan mantan presiden Abdurahman Wahid. Dalam kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, ia ragu akan adanya unsur penistaan dalam pidato Basuki yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51.
“Jika dianggap penistaan, pemeluk Islam juga kena karena banyak yang menistakan agama lain,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Thalibin, Keluruhan Leteh, Rembang, Jawa Tengah, ini.
[Baca juga: Gus Mus Angkat Bicara Soal Kasus Ahok]
Pendiri bangsa ini dengan susah-payah melakukan rembukan yang intens agar masyarakat yang beragam ini bisa hidup dengan baik. Tapi orang yang datang belakangan tidak mempelajari sejarah, lalu merasa seolah-olah bukan orang Indonesia.
Maka, selalu saya katakan kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan di Indonesia. Banyak kiai pesantren yang tak tahu arti nasionalisme tapi mereka mencintai Indonesia karena alasan sederhana: Indonesia rumah kita.
Di sinilah kita hidup, sujud, dan akan dikebumikan. Seperti perjuangan Mbah Hasyim Asy’ari: Indonesia diperjuangkan satu tarikan napas dengan Islam. Orang yang menghancurkana rumahnya sendiri itu gendeng, nggak bisa diterima nalar.
Jika terus dibiarkan, apakah konflik di Indonesia bisa meledak seperti di Timur Tengah?
Konflik di Timur Tengah itu karena materi. Bila Timur Tengah tak ada minyak, tak akan bergolak. Irak, Libya, Suriah sudah hancur karena mereka tak waspada.
Nah, Indonesia tak hanya punya minyak, tapi ada emas dan macam-macam. Kalau kita tidak waspada, orang lain yang akan menguras kekayaan kita dan perlahan hancur.
[Baca juga: Singgung Soal Aleppo, Gus Mus: Bacalah Surat Terbuka Ini dengan Pikiran Jernih]
Beberapa kelompok mengklaim tindak kekerasan tersebut bagian dari dakwah. Bagaimana model dakwah yang tepat?
Dakwah itu artinya mengajak. Beda dengan amar makruh yang artinya perintah, nahi mungkar yang bermakna melarang.
Tapi, saat ini, ketiganya selalu dicampur-adukkan. Kalau dalam dakwah diperlukan debat atau bantahan, pakailah cara yang lebih baik dan argumen yang bagus.
Anda kerap mengkritik Majelis Ulama Indonesia. Apa alasannya?
Orang sudah lupa pada sejarah MUI. Dulu Presiden Soeharto ingin mengontrol organisasi dengan meleburnya menjadi satu. Kepemudaan disatukan menjadi Komite Nasional Pemuda Indonesaia, wartawan menjadi Persatuan Wartawan Indonesia, partai-partai Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan.
Organisasi keagamaan Islam disatukan menjadi MUI. Tapi, dalam perkembangannya, MUI menyaingi kementerian Agama. Mereka berhak membuat label halal yang jadi domain pemerintah. MUI ini bagian dari pemerintah atau bukan, kok bisa bertindak seperti itu?
[Baca juga: Soal Aksi FPI di Mall Jelang Natal, Gus Mus: Banyak Orang Anggap MUI Lembaga Negara]

Untuk keperluan bahan diskusi kementrian agama badan eksekutif mahasiswa stai attanwir 2016-2017
talun 26/01/2017

Tidak ada komentar: